“Jurnalisme” Setengah Hati

Belakangan di kalangan wartawan marak dibicarakan gagasan untuk menceraikan infotainmen dari kategori jurnalisme. Gagasan ini muncul menanggapi banyaknya keberatan masyarakat atas praktek profesi pekerja (bukan wartawan) infotainmen.

Dari seorang penulis milis jurnalisme di Yahoogroup, saya menangkap ada suatu perbedaan yang agak mendasar mengenai cara kerja jurnalisme dan praktek sebagian (artinya tidak seluruh) pekerja infotainmen.

Jurnalisme merupakan cabang ilmu yang bertujuan menyajikan fakta dengan cara-cara pencarian fakta (peliputan) yang tidak boleh menyalahi norma dan aturan. Jika Anda seorang wartawan, hendak mewawancarai narasumber, di mana pun dan kapan pun, Anda harus memastikan bahwa narasumber Anda tahu bahwa mereka tengah berhadapan dengan jurnalis yang sedang bekerja. Sebagai wartawan Anda punya hak untuk mengajukan pertanyaan secara sopan.

Ketika wartawan bekerja, ia memiliki kriteria acuan sehingga bisa menentukan topik mana yang bisa diliput dan topik mana yang tidak. Dalam elemen jurnalisme dikatakan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Seorang wartawan, ketika bekerja, tidak hanya bertanggung jawab pada pimpinannya, namun ada tanggung jawab moral yang lebih besar yaitu kepada masyarakat luas. Maka seorang wartawan, di satu sisi boleh bekerja menggunakan instingnya, namun di sisi lain harus selalu bertanya, apa manfaatnya bagi masyarakat.

Maka ketika seorang wartawan berhadapan dengan narasumber, katakan seorang pengusaha yang kebetulan tengah mengalami goncangan rumah tangga, boleh bertanya mengenai hal-hal terkait usahanya, namun tidaklah pas jika ia membuat liputan mengenai goncangan yang dihadapi keluarga pengusaha tersebut. Karena secara prinsip, jurnalisme boleh mewartakan hal-hal positif namun harus berhati-hati ketika mewartakan hal-hal negatif. Sebuah keluarga yang bahagia, bisa menjadi berita, dengan harapan agar keluarga lainnya terinspirasi oleh kesuksesan keluarga tersebut meraih kebahagiaannya. Namun keluarga yang tengah mengalami goncangan tidak boleh dijadikan berita, karena pemberitaan bisa jadi memperparah perpecahan dalam keluarga tersebut. Selain itu pemberitaan mengenai keluarga yang tengah mengalami perpecahan juga bisa menjadi “inspirasi” bagi perpecahan keluarga lainnya. Nah jika ini terjadi, apakah si wartawan mau bertanggung jawab?

Ketika seorang wartawan hendak mewawancarai narasumber, si wartawan memberikan tawaran bebas bagi narasumbernya. Artinya narasumber berhak untuk menolak wawancara atau menolak berkomentar dengan alasan apa pun. Ketika seorang wartawan hendak menulis berita mengenai dugaan perilaku negatif yang dilakukan seseorang, maka wartawan wajib bertanya pada orang tersebut, benar atau tidak dugaan tersebut. Karena setiap orang punya hak untuk membela diri. Perkara orang tersebut tidak mau berkomentar, itu urusan dia. Yang penting wartawan telah memberi kesempatan.

Sekarang bagaimana dengan infotaimen. Jika 10 orang mengatakan bahwa si A mencuri, apakah si A benar-benar mencuri? Belum tentu. 10 orang yang mengatakan tidaklah menunjukkan fakta. Berita si A mencuri masih merupakan rumor. Namun ini berbeda dengan prinsip infotaimen. Bisa jadi mereka berkilah bahwa hanya meluruskan kabar berita. Jika prinsip ini dipakai, maka ada terlalu banyak rumor yang harus ditanggapi. Celakanya, bisa jadi pekerja infotainmen kemudian menciptakan rumor sehingga bisa menjadi bahan liputan.

Ketika mewawancarai narasumber, bisa jadi pekerja infotaimen menyatakan bahwa mereka bekerja untuk memenuhi keingintahuan masyarakat. Pertanyaannya masyarakat yang mana. Masyarakat yang membutuhkan? Apakah masyarakat butuh berita mengenai persoalan rumah tangga artis? Mungkin pekerja infotaimen berkilah bahwa yang penting laku di jual. Lalu apa bedanya dengan penjual narkoba? Artinya ketika kita bekerja dengan informasi, kadang kita harus bertanya, apakah karya saya memberi manfaat positif bagi masyarakat.

Beberapa waktu yang lalu seorang artis marah-marah di jejaring sosial karena ia kesal pada pekerja infotainmen yang ingin minta komentar. Seorang wartawan ketika bekerja memang kadang mengganggu jadwal kegiatan narasumber. Tapi ketika narasumber merasa belum bisa memberi waktu untuk wawancara, atau belum siap dengan jawaban, ia tidak boleh dipaksa. Narasumber harus berada pada posisi bebas ketika memberi komentar.

Jika infotainmen dipisahkan dari jurnalisme, maka akan ada beberapa konsekuensi. Konsekuensi tersebut tentu akan berdampak negatif terhadap infotainmen. Pertama, pekerja infotainmen akan kehilangan kartu pers. Implikasinya, akses terhadap narasumber akan terbatas, karena ia akan diperlakukan sama seperti warga masyarakat lain. Kedua, siaran infotainmen tidak akan bisa mengelak dari status bebas sensor. Saya tidak tahu apakah selama ini setiap acara di televisi non berita wajib melalui proses sensor. Namun, dengan lepasnya infotainmen dari kelompok jurnalisme, jika ada yang minta, sebuah acara infotainmen bisa saja dikenai wajib sensor.

Tuntutan menceraikan infotainmen dari kelompok jurnalisme merupakan puncak dari kekecewaan sebagian masyarakat dan sebagian jurnalis. Sebagian masyarakat kecewa karena infotainmen kadang terlalu jauh masuk ke area privat domain (urusan pribadi). Sebagian masyarakat mungkin juga kecewa dengan perilaku pekerja infotainmen yang nampaknya tidak memiliki etika dan hanya sekedar mengejar setoran. Sebagian jurnalis nampaknya juga keberatan, karena aksi-aksi pekerja infotainmen, yang mungkin mengaku sebagai wartawan, bisa merusak citra kewartawanan. Akibatnya, wartawan ikut-ikutan tercap negatif seperti pekerja infotainmen.

Oleh karena itu, sangat masuk akal jika ada tuntutan untuk menceraikan infotainmen dari
kelompok jurnalisme.

0 komentar:

Posting Komentar